BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masalah
Manusia hidup
sarat dengan persoalan, dan salah satu persoalan yang tidak henti-hentinya
dihadapi adalah persoalan ekonomi, ketika sebagian persoalan ekonomi dapat
diatasi maka akan muncul lagi persoalan yang lain. Ekonomi merupakan hal yang
sangat penting dalam kehidupan, karena pada dasarnya manusia tidak bisa jauh
dari kegiatan ekonomi seperti produksi dan konsumsi.
Banyaknya
persoalan ekonomi yang muncul, hendaknya mampu dipecahkan dan diselesaikan
melalui ilmu ekonomi itu sendiri. Tapi pada kenyataannya walaupun
ilmu ekonomi yang dikembangkan oleh para pakar ekonomi telah makin maju dan
canggih seiring dengan perubahan zaman bukan berarti semua persoalan manusia
berhasil diatasi. Dalam kenyataan kehidupan sehari-hari kita masih melihat
selalu ada masalah yang dihadapi, secara umum masalah yang paling besar
menyangkut persoalan ekonomi.
Melihat banyaknya
persoalan yang terjadi membuat para pakar ekonomi berpikir dengan keras untuk
mencari solusi atas permasalahan yang terjadi. Sehingga banyak
teori-teori bermunculan dari para pemikir ekonomi, tapi sayangnya
teori yang diterapkan juga belum mampu menyelaikan masalah yang terjadi.
Sehingga menyebabkan timbulnya kritikan terhadap teori yang dikembangkan oleh
pemikir sebelumnya.
Akan tetapi, tidak
banyak yang tahu bahwa kegagalan tersebut disebabkan oleh hambatan dan
rintangan Instistusional, hambatan itu berkisar pada sikap kaku dalam perilaku pada
golongan masyarakat konglomerat, organisasi serikat buruh dan birokrasi
pemerintah.
Berdasarkan
permasalahan di atas maka dalam makalah ini akan dibahas mengenai pemikiran
ekonomi Institusional, di mana di dalamnya akan dibahas bagaimana perilaku konsumen
dan produsen dalam kegiatan ekonomi.
B.
Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah berdasarkan latar belakang
diatas adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah corak
pemikiran aliran ekonomi institusiaonal ?
2. Siapakah Thorstein
Bunde Vablen dan pemikirannya dalam aliran institusoanal ?
C.
Tujuan
Adapun tujuan penulisan makala ini adalah:
1. Memenuhi tugas
mata kuliah, sebagai salah satu syarat penilaian dalam mata kuliah Sejarah
Pemikiran Ekonomi.
2. Membantu para
pembaca dalam memahami corak pemikiran aliran institusional.
3. Mengenal biografi
Thorstein Bunde Veblen.
4. Mengetahui
pemikiran Thorstein Bunde Veblen.
.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Corak Pemikiran
Aliran Ekonomi Institusional
Pada tahun 20-an
di daratan Amerika Serikat muncul aliran pemikiran ekonomi lain yang disebut
aliran ekonomi “institusional”. Ekonomi kelembagaan atau ekonomi
institusional pada hakekatnya adalah cabang ilmu ekonomi yang menekankan pada
pentingnya aspek kelembagaan dalam menentukan bagaimana sistem ekonomi dan sosial
bekerja.
Ada sedikit
persamaan antara aliran Institusional dengan aliran Sejarah, keduanya sama-sama
menolak metode Klasik. Akan tetapi, dasar falsafah dan kesimpulan-kesimpulan
politik kedua aliran tersebut berbeda. Aliran Institusional menolak ide
eksperimentasi sebagaimana yang dianut oleh aliran Sejarah. Begitu juga, pusat
perhatian aliran institusional terhadap masalah-masalah ekonomi dalam kehidupan
masyarakat berbeda.
Aspek metodologi
ekonomi yang dikandung dalam ekonomi Institusional sering dimasukkan ke dalam
ekonomi ortodoks. Ekonomi ortodoks maksudnya pemikiran-pemikiran ekonomi
yang menggunakan dan melanjutkan pandangan-pandangan ekonomi Klasik, seperti
persaingan bebas, persaingan sempurna, kepuasan konsumen.
Orang yang paling
berpengaruh dan mempunyai peran dominan terhadap keberadaan aliran
Instistusional adalah Thorstein Bunde Veblen. Dia mengkritik
teori ekonomi Klasik dan Neo-klasik yang mengabaikan aspek-aspek
non-ekonomi seperti kelembagaan dan lingkungan. Padahal Veblen menilai pengaruh
keadaan dan lingkungan sangat besar terhadap tingkah laku ekonomi masyarakat.
Struktur politik dan sosial yang tidak mendukung dapat menimbulkan distorsi
proses ekonomi. Bagi Veblen mayarakat merupakan fenomena evolusi, segala
sesuatunya terus mengalami perubahan. Pola perilaku seseorang dalam masyarakat
disesuaikan dengan kondisi sosial sekarang. Jika perilaku tersebut cocok dan
diterima, maka perilaku akan diteruskan. Sebaliknya, jika suatu
perilaku dianggap tidak cocok maka perilaku akan disesuaikan dengan lingkungan.
Keadaan dan
lingkungan inilah yang disebut Veblen “institusi”. Dalam hal ini dijelaskan
bahwa yang dimaksud Veblen dengan institusi adalah hal-hal yang terkait dengan
norma-norma, nilai-nilai, kebiasaan, serta budaya. Selanjutnya semuanya
direfleksikan kedalam kegiatan ekonomi, baik dalam berproduksi maupun
mengkonsumsi.
B.
Biografi Thorstein
Bunde Veblen (1857-1929)
Thorstein Bunde
Veblen adalah anak keenam dari imigran Norwegia generasi pertama, dia
dibesarkan di daerah pertanian Wisconsin yang hanya menggunakan bahasa
Norwegia.
Veblen adalah anak
dari seorang petani miskin yang melakukan imigrasi dari Norwegia ke Amerika.
Dalam keluarga petani miskin ini, termasuk di dalamnya Veblen, ada sembilan
orang bersaudara. Agaknya latar belakang kehidupan yang serba kekurangan inilah
yang menjadi pangkal tolak mengapa di dalam kehidupannya ia sering bersikap
getir, skeptis, dan bahkan ada yang menilainya sebagai seorang fasis.
Gelar yang
diberikan kepada Veblen sangat banyak. Selain gelar-gelar di atas ia juga
sering digelari sebagai seorang maverick, yang kira-kira bisa
di artikan dengan orang yang suka “lain dari yang lain”. Gelar ini biasa
diberikan pada orang yang selalu berpijak pada pemikiran sendiri tanpa peduli
dengan pemikiran-pemikiran umum yang dianggap lumrah [ maverick =
person who dissent from the ideas of an organized group ].
Sebagai
seorang maverick yang selalu ingin tampil beda, ia tidak
pernah menghargai pendapat orang lain. Selalu teguh pada pendapat sendiri,
walau pendapat tersebut mungkin bertentangan dengan pendapat yang dianggap
“lumrah” atau “benar” waktu itu.
Gelar lain yang
diberikan pada Veblen adalah iconoclast, yaitu orang yang suka
menyerang dan ingin menjatuhkan ide-ide atau gagasan-gagasan orang-orang atau
institutradisional yang diterima secara umum [ iconoclast = one who
attacks and seeks to overthrow traditional or popular ideas or institutions ].Sebagai
seorang iconoclast ia tak pernah segan dan tak pernah ragu
menentang pendapat para establishment.
Gelar “radikal”
juga cocok untuk Veblen, sebab ia sering atau bahkan terus menerus
mempermasalahkan inti kebenaran dari kata susunan masyarakat. Sebagaimana akan
dijelaskan nanti, salah satu hal yang sering dipermasalahkannya ialah kebenaran
tesis Neo-Klasik tentang konsep utilitas marjinal [marginal utility
] dan asumsi tingkah laku konsumen rasional.
Dengan gelar-gelar
sebagaimana disebutkan di atas Veblen sering diperbandingkan dengan Karl Mark,
tokoh sosialis/marxis yang juga mempunyai kemampuan intelektual yang luar biasa
dan sama-sama sering melawan arus serta revolusioner. Bahkan latar belakang
pendidikan di antara keduanya mempunyai kemiripan, yaitu sama-sama mempunyai
latar belakang pendidikan yang luas di bidang sosiologi, politik, falsafah, dan
antropologi di samping ekonomi.
Pendidikan awal
yang di tempuh Veblen adalah bidang filsafat, yang di ambilnya di Johns
Hopskins University dan Yale University. Kemudian ia memperdalam ekonomi di
Cornel University. Walaupun ia seorang yang brilian, tetapi anehnya jabatannya
sebagai dosen tidak pernah lebih tinggi dari pembantu profesor, baik waktu ia
mengajar di Chicago, Stanford, maupun Missouri. Ada yang menganggap hal itu
karena ia tidak terlalu tertarik untuk mengajar, dan ada pula yang
menghubungkannya dengan pribadinya yang termasuk tipe orang yang sulit bergaul.
Bagaimana gambaran
dari seorang Veblen yang mempunyai pribadi yang sulit ini dapat kita lihat
sebagai berikut: karena namanya sangat terkenal pada waktu pendaftaran
mahasiswa, mahasisiwa berbondong-bondong mengambil mata kuliah yang
diajarkanya. Tetapi yang ditemui mahasiswa adalah seorang eksentrik yang selalu
menggerutu. Pada hari pertama kuliah, ia menghabiskan seluruh papan tulis
membuat daftar bacaan yang harus dikuasai mahasiswa, dan akan diuji minggu depannya.
Tentu saja ini membuat mahasiswa ngeri. Sebagai akibatnya, ruang kuliahnya
makin lama makin sepi, dan pada akhir semester hanya tinggal beberapa mahasiswa
saja. Sebagai dosen killer ia tidak pernah memberi nilai di
atas C, yang membuat ruang kuliahnya makin dijauhi mahasiswa.
Dari buku-buku
yang ditulisnya telah membuat Veblen telah menjadi sangat terkenal. Karya
tulisannya yang tajam, dengan analisis yang langsung menukik pada persoalan,
membuat dihargai oleh rekan-rekan seprofesi. Beberapa buku yang ditulisnya
seperti: the theory of lesure class[1899], the theory of business
enterprise [1904], the instinct of workmanship and the state of the industrial
art: [terbit tahun 1914, dan tahun 1920 dipublikasikan kembali dengan
judul: the vested interest and the common man ]; the enggineer
and the price system [1921]; absentee ownership and business enterprise in
recent times the case of America. Selain buku-buku yang disebutkan di
atas masih banyak buku-buku yang lain yang ditulisnya menyangkut masalah sosial,
politik, bahkan juga tentang pertahanan keamanan, dunia pendidikan,
dan sebagainya.
C.
Pemikiran
Thorstein Bunde Veblen
1. Motivasi konsumen
Dalam The
Theory of the Leisure Class, Veblen menjelaskan hal-hal yang
berhubungan dengan dorongan dan pola perilaku konsumsi masyarakat. Sebagai
seorang pemikir, Veblen merasa tidak puas dengan kondisi masyarakat
yang ada di sekitarnya, dia sering melihat situasi-situasi masa lalu yang
dinilainya lebih baik dari pada situasi-situasi dan keadaan sekarang, terutama
dalam masyarakat Amerika yang diamatinya.
Menurut Veblen,
dulu perilaku orang terikat dengan masyarakat sekeliling, tingkah laku dari
masyarakat itu dapat memberikan pengaruh terhadap perkembangan masyarakat.
Kalau dulu orang berusaha untuk menghindari dan tidak melakukan perbuatan
yang dapat merugikan orang banyak, tapi sekarang menurut Veblen dalam
masyarakat kapitalis finansial di Amerika justru orang- orang hanya
mementingkan diri sendiri dan tidak perduli terhadap orang lain.
Yang diperhatikan
oleh masyarakat sekarang adalah uang, segala sesuatu dinilai dengan uang.
Sekarang orang tidak peduli apakah perilaku ekonominya merugikan orang lain
atau tidak, orang berlomba-lomba untuk mencari dan memperebutkan harta tanpa
peduli akan cara yang dilakukannya apakah benar atau salah, yang penting apa
yang mereka inginkan tercapai. Mereka menganggap harta adalah segala-galanya dalam
hidup. Hal itu terjadi karena mereka berpandangan bahwa hanya harta yang mampu
menaikkan status dan harga diri seseorang dalam masyarakat.
Ketika harta
mereka telah banyak terkumpul, mereka memiliki banyak waktu untuk
bersenang-senang (leisure). Dengan demikian, pada masa sekarang
kemampuan untuk hidup bersenang-senang juga dijadikan sebagai alat
untuk memperlihatkan derajat atau status seseorang di masyarakat.
Sehingga bisa dikatakan semakin banyak waktunya untuk bersenang-senang maka
semakin tinggi derajatnya di masyarakat.
Penyakit seperti
ini banyak menghinggapi kaum wanita. Sebagai contoh misalnya si A memakai gaun
mode mutakhir dalam kesehariannya. Apa yang dia lakukan hanya sekedar untuk
memberitahukan kepada orang-orang bahwa dia sudah tidak bekerja lagi melainkan
sekarang dia menikmati apa yang telah dia miliki.
Karena aktivitas
bersenang-senang (leisure) dijadikan sebagai indikator
kesuksesan seseorang, maka keluarga kaya yang ingin dianggap
hebat, sebagai seorang suami dia tidak pernah mengizinkan istri
dan anak-anaknya mengerjakan pekerjaan rumah, semua pekerjaan diserahkan
kepada pembantu. Sementara pembantu bekerja istri dan anak-anak sibuk mencari
kesenangan masing-masing.
Penyakit suka
pamer ini menurut Veblen cepat berjangkit ke dalam masyarakat. Sebagai contoh,
Misalnya Jesika baru pulang dari Singapura, dia memamerkan
barang-barang yang dibelinya dari Singapura tersebut, kerena temannya yang
bernama Ayu juga baru pulang dari Amerika , supaya tidak
kalah bersaing si Ayu ini juga memamerkan barang-barang yang telah dibelinya di
Amerika.
Dengan harta
berlimpah orang berlomba-lomba membeli barang-barang yang digunakan untuk
pamer. Kecenderungan perilaku konsumsi seperti ini disebut Veblen dengan
istilah conspicuous comsumption yaitu konsumsi barang-barang
dan jasa yang bersifat ostentatious ( pamer ). Hal
itu dimaksudkan untuk membuat orang kagum, yang menjadi
konsumsi utama bagi masyarakat leisure adalah
barang-barang mahal. Mereka tidak perduli apakah barang yang mereka beli itu
berguna atau tidak dalam kehidupan sehari-hari, semakin mahal harga
barang yang dibeli maka mereka semakin yakin kalau barang tersebut
indah dan hebat.
Manfaat yang
diperoleh dari pengonsumsian barang-barang mahal tersebut memang tidak
diperoleh dari barang itu sendiri, tetapi mereka merasakan ada manfaat ketika
barang yang mereka beli itu mendapat perhatian dan pujian dari orang-orang
sekitar, semakin kagum orang pada apa
yang dibelinya semakin tinggi tingkat kepuasan mereka. Tetapi jika barang
yang mereka beli tidak mendapat
respon dan pujian dari orang sekitar maka mereka akan
kecewa dan merasa pusing tujuh keliling.
Apa yang dikatakan
Veblen tentang perilaku konsumsi bermewah-mewahan di atas adalah faidah atau
manfaatnya tidak diperoleh langsung dari barang yang ia konsumsi
melainkan dari dampaknya terhadap orang lain. Bagi Veblen, gambaran
di atas sangat bertolak belakang dengan pandangan dari aliran kaum
Klasik dan Neo-Klasik.
Menurut Neo-Klasik
orang akan selalu memilih alternatif konsumsi terbaik untuk
memperoleh kepuasan sebesar-besarnya, kemudian pandangan dari Neo-klasik ini
juga bertentangan dengan pendapat kaum Klasik yang mengatakan bahwa
setiap keputusan konsumen didasarkan pada rasio, bukan emosi.
Menurut pandangan
Veblen, orang yang membeli suatu barang yang melebihi proporsi yang wajar,
jelas tidak rasional. Namun, lebih bersifat emosional.
Dan yang lebih parah lagi, kadang-kadang tingkah laku mereka seperti orang
norak. Hal seperti ini sering terjadi pada golongan nouve riche, atau
di Indonesia dikenal dengan istilah orang kaya baru (OKB). Golongan ini umumnya
berasal dari orang miskin yang kemudian berhasil meningkatkan status
finansialnya. Karena kurang terbiasa dengan pola hidup orang-orang kaya,
perilaku konsumsinya sepeti menjadi tidak wajar.
Veblen melihat
bahwa perilaku conspicuous consumption semakin
menggejala dalam masyarakat kapitalis finansil liberal Amerika. Perilaku
seperti ini sangat dibenci dan ditentang oleh Veblen. Karena dari hasil
pengamatannya ia menyaksikan bahwa orang Amerika cenderung semakin manja.
Banyak di antara mereka yang kerjanya hanya menghambur-hamburkan waktu, tenaga,
dan sumber daya. Jika kecenderungan seperti ini tidak dicegah,
menurut Veblen bangsa Amerika suatu saat akan tertinggal dari bangsa-bangsa
lain yang lebih perhitungan dalam membelanjakan pendapatan mereka.
2. Perilaku pengusaha
Dalam bukunya yang
lain The Theory of Business Enterprise, Veblen lebih jauh
menjelaskan kemiripan perilaku pengusaha Amerika dengan perilaku
konsumsi yang diceritakan di atas. Veblen dalam hal ini juga melihat bahwa
perilaku para pengusaha Amerika di masanya telah banyak mengalami perubahan.
Dahulu para pengusaha pada umumnya menghasilkan barang-barang dan jasa untuk
memperoleh keuntungan dengan kerja keras. Akan tetapi, pada masa sekarang laba
atau keuntungan sebagian tidak lagi diperoleh melalui kerja keras dengan
menciptakan barang-barang yang disukai konsumen, tetapi untuk mencari
keuntungan mereka melakukannya melaui trik-trik bisnis. Produksi seperti ini
disebutnya production for profit.
Veblen melihat
bahwa pada masa sekarang semakin banyak dijumpai jenis
pengusaha pemangsa (predator). Pengusaha ini adalah para pengusaha yang
memperoleh keuntungan melalui berbagai cara tanpa mempedulikan nasib orang
lain, termasuk para pegawai dan karyawan yang bekerja di perusahaan yang
dimilikinya. Apalagi terhadap nasib para konsumen yang membeli
produk-produknya, tidak ada perhatian mereka sama sekali.
Veblen
melihat dalam masyarakat Amerika yang tumbuh begitu pesat telah
melahirkan suatu golongan yang disebutnya absentee ownership, yang
dimaksudnya dengan golongan absentee ownership adalah
para pengusaha yang memiliki modal besar dan menguasai sejumlah perusahaan,
tetapi tidak ikut terjun langsung dalam kegiatan operasional
perusahaan. Kegiatan operasional perusahaan diserahkan kepada para professional dan karyawan
kepercayaannya. Walaupun golongan ini tidak ikut langsung dalam kegiatan
operasional perusahaan, pada kenyataannya ia malah memperoleh keuntungan paling
besar.
Sebagai contoh,
misalnya tentang pengusaha yang bergerak dalam bidang perkeretaapian. Ketika
Amerika melakukan pembukaan kawasan dari pantai Timur hingga pantai Barat, yang
merancang dan melaksanakan pembuatan jaringan kereta api adalah tenaga-tenaga
professional yang diupah. Sementara itu sang pengusaha sebagai
pemilik modal hanya “ongkang-ongkang kaki” saja. Mereka tidak
mengarahkan pikiran dan energi dalam kegiatan operasional,
tetapi memperoleh bagian keuntungan paling besar.
Menurut Veblen
para pengusaha yang hanya mementingkan laba tanpa memperhatikan cara ini
biasanya melakukan kong kaling kong dengan penguasa. Dengan
begitu, mereka mendapat berbagai kemudaahan dan hak-hak istimewa,
misalnya dalam menguasai bahan-bahan mentah dan menguasai daerah-daerah
pemasaran. Ia juga biasanya mampu mengatur pejabat kehakiman untuk
tidak mempersoalkan kedudukan monopolinya atau agar tidak menggubris manipulasi
pajak dan keuangan yang dilakukannya.
Di beberapa negara
berkembang yang masih belum mempunyai aturan permainan atau rule
of law yang jelas, sering dijumpai adanya kerja sama antara pengusaha
dengan militer demi mengamankan bisnis monopolinya. Artinya, kalau ada
pengusaha lain yang ikut dalam bisnis yang dimonopolinya, ia akan berurusan
dengan militer. Pihak berwajib biasanya diberi hadiah atau promosi naik
pangkat. Hal ini mudah diatur, sebab sang pengusaha biasanya dekat atau memang
ada hubungan keluarga dengan pihak berwajib tersebut.
Dengan monopoly
power yang ada di tangan, mereka juga sering
mengurangi penawaran (supply) barang-barang,
sehingga harga dapat melambung tinggi, dengan begitu pengusaha dapat memperoleh
keuntungan yang lebih besar lagi. Dengan demikian, uang atau modal di tangan
pengusaha, pemangsa lebih sebagai alat pengeksploitasi keuntungan sebesar-besarnya
daripada sebagai asset yang dikelola dengan efisien untuk memuaskan
kebutuhan konsumen sebagaimana yang terjadi dalam perusahaan sungguhan. Untuk
memperoleh laba yang sebesar-besarnya ada pengusaha absentee ownership yang
tidak segan-segan mematikan usaha pengusaha sungguhan yang memperoleh
keuntungan dengan kerja keras. Salah satu cara untuk itu ialah
dengan melakukan akuisisi. Cara lain untuk mematikan pesaing lain
adalah dengan membanting harga, sehingga produk-produk dari
perusahaan-perusahaan pesaing tersebut tidak laku. Setelah pesaing mati dan
keluar dari pasar, biasanya mereka kembali menaikkan harga
dan memperoleh laba sangat besar (excessive profit).
Veblen menilai
bahwa para pengusaha absentee ownership yang bisa
memperoleh keuntungan besar dengan cara kongkalingkong tersebut
sangat berpotensi melahirkan golongan leisure class. Secara
psikologis orang yang bisa memperoleh sesuatu tanpa kerja
keras biasanya cenderung tidak menghargai sesuatu yang diperolehnya. Oleh
karena itu, tidak mengherankan kalau perilaku konsumsinya akan bersifat conspicuous
consumption. Perilaku mereka yang suka pamer tersebut kadangkala sangat
norak, sebab suka membeli sesuatu yang tidak
dimanfaatkan dengan sewajarnya. Hal ini berbeda dengan perilaku
konsumsi pengusaha murni yang serius dan bekerja keras dalam berusaha. Karena
keberhasilan diperoleh melalui kerja keras mereka akan lebih perhitungan dalam
mengonsumsi barang-barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhannya.
Dari uraian di
atas, tidak mengherankan jika Veblen menolak keras teorinya kaum Klasik, teori
yang ditentangnya menganggap bahwa usaha setiap orang untuk mengejar
kepentingan masing-masing pada akhirnya akan melahirkan suatu harmoni dan
keseimbangan dalam masyarakat secara keseluruhan. Hal itu karena
dari gejala-gejala yang diamatinya, ia melihat bahwa perilaku pengusaha yang
hanya mengejar kepentingan pribadi sangat bertolak belakang dengan tujuan
masyarakat secara keseluruhan. Sebaliknya, demi mengejar kepentingan pribadi
ada pengusaha yang tidak segan-segan menghambat dan mematikan kepentingan orang
banyak.
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Berdasarkan
penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa dalam pemikiran ekonomi Institusional
Veblen mengatakan bahwa pola perilaku masyarakat mengalami perubahan baik itu
dalam berproduksi maupun mengkonsumsi, di mana dalam mengkonsumsi mereka
memprioritaskan kesenangan dan poya-poya dalam konsumsi sehingga menyebabkan
munculnya kelompok leisure class.
Kemudian dalam
berproduksi menurut Veblen pengusaha cenderung bersifat absentee
ownership, di mana dalam mengembangkan usahanya mereka hanya berdiam
diri sedangkan yang menjalankan usahanya adalah tenaga professional yang
digaji.
Pola perilaku
seperti di atas terjadi pada masyarakat Amerika, tetapi tidak menutup
kemungkinan pola perilaku seperti itu juga terjadi pada masyarakat Indonesia
sekarang ini. Dengan adanya teori dari Veblen itu, sehingga kita tahu bahwa
sebenarnya pola perilaku masyarakat juga perlu diatur baik itu dalam
berproduksi maupun dalam mengkonsumsi. Sedangkan menurut pendapat Imam
asy-Syatibi maqashid al syariah (kemaslahatan) akan
terealisasi apabila lima unsur pokok kehidupan manusia dapat terwujud dan
terpelihara, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Kemaslahatan
mempunyai relevansi yang begitu erat dengan konsep motivasi. Di mana konsep motivasi
itu lahir seiring dengan munculnya persoalan “mengapa” seseorang berperilaku.
Motivasi itu didefinisikan sebagai seluruh kondisi usaha keras yang timbul dari
dalam diri manusia yang digambarkan dengan keinginan, hasrat, dan dorongan.
Bila dikaitkan dengan konsep maqashid al- syariah, jelas bahwa,
dalam pandangan Islam motivasi dalam melakukan aktivitas ekonomi adalah untuk
memenuhi kebutuhannya dalam arti memperoleh kemaslahatan hidup di dunia dan
akhirat.
Kebutuhan yang
belum terpenuhi merupakan kunci utama dalam suatu proses motivasi. Seorang
individu akan terdorong untuk berperilaku bila terdapat suatu kekurangan dalam
dirinya, baik secara psikis maupun psikologis. Motivasi itu sendiri meliputi
usaha, ketekunan dan tujuan. Apabila manusia termotivasi untuk selalu berkreasi
dan bekerja keras, maka hal itu akan mampu meningkatkan produktivitas kerja dan
pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
Jadi, terdapat
perbedaan pandangan antara Veblen dengan Imam asy- Syatibi mengenai perilaku
konsumen dan perilaku produsen. Kalau menurut Veblen tujuan hidup manusia untuk
kesenangan dan kesejahteraan dunia belaka, sedangkan menurut Imam asy-Syatibi
dalam Islam kita tidak hanya memikirkan kesejahteraan dunia semata, tetapi kita
juga memikirkan kesejahteraan untuk akhirat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar